Silahkan simak laporan wartawan dari detik.com ini ternyata pengemis di kampung halamanya bisa mendapathasil yang lumayan besar, bahkan sebagian ada yang menjadikan ini sebagai bisnis utama,
penghasilan mereka rata2 bisa di bilang lumayan
“Seorang pengemis yang ngontrak di saya bilang, paling apes mereka dalam
sehari dapatnya Rp 200 ribu per hari. Tapi umumnya mereka dapat uang
sekitar 500 ribu-Rp 600 ribu per hari,” ujar Hanson.
Omongan Hanson bukan isapan jempol belaka. Sebab beberapa waktu lalu
seorang nenek-nenek buta yang menghuni kontrakan miliknya mengaku
kehilangan celengan. Nenek itu bilang uang yang ada di dalam celengan
jumlahnya Rp 900 ribu hasil mengemis selama 4 hari sebelumnya.
“Bayangin aja dalam 4 hari saja nenek itu bisa menabung Rp 900 ribu.
Kalau sebulan bisa dapat berapa duit itu nenek,” kata pria asal Medan
itu.
bisa
dianggap mereka termasuk orang yang “mampu ” berarti perlu di revisi
lagi tentang kriteria orang miskin itu… hehehehehheeh silahkan disimak
beritanya
Jakarta – Gang-gang sempit dengan rumah yang saling berhimpitan menjadi
pandangan khas di Kebon Singkong, Kelurahan Klender, Jakarta Timur.
Inilah kampung pengemis.
Ada sekitar 3 RW di kawasan ini. Warga yang tinggal di Kebon Singkong
kebanyakan pendatang. Mayoritas mereka berasal dari Indramayu, Jawan
Barat.
Dulunya kawasan padat penduduk ini hanyalah hamparan kebun singkong.
Namun sejak tahun 1980-an perlahan-lahan rumah semi permanen dibangun
menggantikan tanaman singkong. “Sampai sekarang meski perkebunan
singkong sudah tidak ada, kampung ini tetap disebut Kebon Singkong,”
kata Yayan, tokoh pemuda di Jakarta Timur.
Seiring perkembangan, daerah Kebon Singkong menjadi kawasan padat dan
ramai. Bahkan kawasan ini belakangan dilabeli “danger” sebab banyak
residivis yang bersembunyi dan tinggal di kawasan ini.
Selain dikenal sebagai daerah yang rawan kriminalitas, daerah ini juga
disebut-sebut sebagai kampung jablay. Dulu banyak perempuan penghibur
yang sering mangkal di lokalisasi Prumpung, Jatinegara, mengontrak di
daerah ini. Namun seiring meredupnya lokalisasi Prumpung, para pekerja
seks komersial (PSK) yang tinggal di daerah tersebut perlahan berkurang.
Sekarang di Kebon Singkong banyak dihuni para pengemis. Mereka adalah
warga Indramayu.
“Setiap bulan puasa ratusan orang dengan menumpang truk datang ke sini
mengontrak rumah,” ujar Berra Hanson, warga Kebon Singkong, kepada
detik+. Hanson yang memiliki 20 petak kontrakan mengaku kecipratan
untung setiap bulan puasa. Sebab seluruh kontrakannya penuh terisi.
Padahal bulan biasa paling hanya terisi separuhnya. Para pengontrak itu
adalah pengemis yang rutin beroperasi di wilayah Menteng dan Jatinegara.
Tarif kontrakan milik Hanson bervariasi. Untuk petakan yang ada di bawah
yang ukurannya 3×6 meter dipatok Rp 350 ribu-Rp 500 ribu per bulan.
Untuk petakan yang di atas yang ukuranya lebih kecil harga sewa yang
dikenakan Rp 150 ribu- Rp 250 ribu. Harga-harga itu sudah termasuk biaya
listrik.
“Biar pengemis mereka bayar kontrakan selalu tepat waktu. Dan mereka
membayar dengan uang pecahan seribuan hasil mengemis. Sudah diiketin
duitnya sama mereka,” celetuk Hanson sambil tersenyum.
Di Kebon Singkong, terdapat ratusan kontrakan yang dihuni para pengemis.
Kalau bulan puasa tiba, jumlahnya makin banyak lagi. Sekitar 200-300
orang menyusul datang.
Para pengontrak tinggal dengan peralatan seadanya. Paling hanya tikar
dan kasur lipat. Tidak ada perabot-perabot yang mewah. Padahal
pendapatan mereka rata-rata per hari bisa dibilang lumayan. Mereka bisa
mendapatkan uang paling kecil Rp 200 ribu per hari.
“Seorang pengemis yang ngontrak di saya bilang, paling apes mereka dalam
sehari dapatnya Rp 200 ribu per hari. Tapi umumnya mereka dapat uang
sekitar 500 ribu-Rp 600 ribu per hari,” ujar Hanson.
Omongan Hanson bukan isapan jempol belaka. Sebab beberapa waktu lalu
seorang nenek-nenek buta yang menghuni kontrakan miliknya mengaku
kehilangan celengan. Nenek itu bilang uang yang ada di dalam celengan
jumlahnya Rp 900 ribu hasil mengemis selama 4 hari sebelumnya.
“Bayangin aja dalam 4 hari saja nenek itu bisa menabung Rp 900 ribu.
Kalau sebulan bisa dapat berapa duit itu nenek,” kata pria asal Medan
itu.
Sekalipun dapat duit banyak dari mengemis, namun kehidupan mereka di
kontrakan seperti orang tidak punya. Sebab uang hasil mengemis biasanya
secara rutin dikirim ke kampung untuk beli sawah dan membangun rumah.
Hanson mengaku pernah melihat rumah-rumah mereka saat menghadiri
kondangan warga setempat yang menggelar acara khitanan anaknya di daerah
Haur Geulis, Indramayu. Saat datang ikut hajatan di sana ia ditunjuki
rumah para pengemis yang ngontrak di Kebon Singkong.
Alangkah terkejutnya Hanson karena ternyata rumah mereka di kampung
besar dan rapi. Bahkan saat dia bertamu melihat perabotannya sangat wah.
“Kamar mandi saja ada bathtubnya. Malah ada yang punya kolam renang
segala,” kata Hanson takjub.
Dari situlah Hanson dan sejumlah warga di Kebon Singkong maklum mengapa
dari waktu ke waktu, warga dari Indramayu banyak berdatangan. Mereka
ingin mengikuti jejak saudara atau tetangganya yang bisa hidup wah di
kampung hanya dengan mengemis.
Nuki Senan, juga warga setempat, menjelaskan para pengemis yang tinggal
di Kebon Singkong kebanyakan orang-orang tua, cacat dan anak-anak.
Sementara bapak-bapak atau ibu-ibunya bertugas mengawasi dan mengantar
jemput para pengemis. Mengapa demikian? Sebab bila yang mengemis adalah
orang buta atau anak-anak biasanya mendapat uang banyak. Kalau orang
dewasa apalagi dalam kondisi normal dapatnya sedikit. “Dapat Rp 30 ribu
per hari saja sudah syukur,” ujar Nuki.
Jangan heran jika orang-orang dewasa berasal dari desa tempat tinggal
pengemis lebih menggantungkan ekonomi kepada anak-anaknya. Mereka
disuruh mengemis. Hanya orang dewasa yang cacat yang justru mencari uang
sendiri karena kondisi itu akan menerbitkan empati.
Demi mendapat empati, maka banyak orang buta di Kebon Singkong tidak mau
diobati. Mobil-mobil pelayanan penyakit katarak yang sempat datang ke
daerah itu selalu sepi peminat. “Mereka (orang buta) tidak mau diobati.
Sebab kebutaan mereka anggap sebagai aset untuk mengemis. Begitu juga
yang cacat,” ujar Nuki.
Begitu berharganya orang buta di kalangan pengemis sampai-sampai antar
sesama pengemis sering berselisih. Mereka berupaya mendapatkan mobil,
ini merupakan istilah untuk orang buta yang mengemis. Terkadang terjadi
persaingan harga sewa bagi pengemis buta ini.
“Di sini pengemis buta banyak yang beristri lebih dari satu orang.
Mereka (orang buta) jadi rebutan karena dianggap sebagai aset untuk
dapat uang,” terangnya. Sekalipun wilayahnya banyak dihuni para
pengemis, namun warga setempat yang bukan pengemis tidak merasa
terganggu bila dicap sebagai kampung pengemis. Pasalnya, warga bisa ikut
meraup berkah dari para pengemis itu. Paling tidak, kata Nuki, warung
atau rumah petakan jadi laku.
Hubungan simbiosis mutualisme antara pengemis dan warga membuat hubungan
bertetangga di Kebon Singkong berjalan harmonis. “Mereka tidak banyak
berulah karena mereka kebanyakan menghabiskan waktunya di luar. Datang
ke kontrakan hanya untuk istirahat saja,” pungkasnya.